Monthly Archives: November 2007

MFM #9: Perkedel salmon

Posted on

Berhubung sibuk mengerjakan Mega Proyek Berlian yang super heboh, akhirnya pe-er MFM9 ini terlantar. Seperti biasa karena kefefet, akhirnya bikin yang sederhana (wong bikin yang sulit juga nggak bisa. hi…hi…hi…).

Tema MFM#9 yang kali ini diorganisir oleh bu Nana adalah kentang. Terimakasih Nana.

Makanan pokok Belanda adalah kentang. Jadi sebelum menikah dulu, hampir tiap hari pulang kerja, Leo selalu masak kentang untuk dinnernya. Tapi setelah menikah, bininya mengubah dia dari Londo totok menjadi Jawa total, hampir tiap hari Leo dikasih nasi. Makan kentang sebagai main menu cuma 2 kali……per tahun. hua…ha…ha…..

Untuk MFM kali ini, aku bikin perkedel salmon (wong kebetulan punya salmon nganggur di freezer sudah lama, daripada jadi fosil mendingan dimanfaatkan to?). Rasanya lumayanlah…niet te slecht….not too bad….

Bahan:

250 gram salmon filet

750 gram kentang (kurang juga boleh), kupas, potong, goreng, haluskan selagi panas

1 jeruk nipis atau lemon, ambil airnya

1 sdt bubuk bawang putih (*males.com*)

2 sdm brambang (bawang merah) goreng, kalau perlu dihaluskan atau diremas

4 batang selderij (seledri), iris halus

1 batang daun bawang, rajang (nggak pake, karena nggak punya)

1/2 sdt merica bubuk atau suka-suka

1/2 sdt garam atau suka-suka

1/4 sdt gula atau suka-suka (pengganti vetsin)

1 kuning telur

1 putih telur

Minyak untuk menggoreng

Cara (Sudah tahu kan?):

1. Lumuri salmon dengan air jeruk nipis. Biarkan minimum 30 menit (aku kemarin malah lebih dari 1 jam….wong kelupaan disambi ngempi. hi…hi…hi…)

2. Cuci salmon dan haluskan (kemarin sih aku remes-remes saja). Langsung masukkan ke kentang yang sudah dihaluskan yang masih panas.

3. Campurkan bumbu lainnya: bawang putih, merica, garam, gula, kuning telur, brambang goreng, daun bawang dan selderij.

4. Buat bentuk bulat dan agak pipih. Celupkan dalam putih telur kemudian goreng sampai kuning kecoklatan (atau coklat kekuningan? Suka-suka deh). Yang penting mateng dalemnya.

Catatan: ini resep males kefefet. Biasanya sih kalau sedang rajin, salmonnya di-marinate juga pake merica dan garam. Setelah salmon di-marinate, kemudian ditaruh di gril pan untuk digrill beberpa lama sambil dibolak-balik. Bawang putih juga biasanya pake yang segar kemudian dicincang dan ditumis dulu. Bahkan kadang ditambah tumisan bawang bombay cincang.

Sorry foto diambil malam hari, jadi gelap (halah alasan…ngomong aja nggak bisa moto!!).

Nggak jadi deh mencari sesuap berlian….

Posted on

Namanya belum rejeki ya nggak bisa dipaksain. Ceritanya nih ada seorang ibu-ibu orang Indonesia yang jualan di pasar kota. Blio jual dari Indomie sampai dengan kecap manis ABC (memang belum selengkap toko Asia sih, tapi kalau cuma butuh kecap masih bisalah beli di situ). Karena sesama orang Indonesia, kalau aku beli di situ kadang dapat korting (ternyata sistem koneksi nyampe juga di Belanda ya). hi…hi…hi…

Suatu kali aku tanya sama blio, boleh nggak kalau titip dagangan makanan di situ. Blio bilang boleh. Asyikkkkkk…maklum di sini kan kalau nggak punya permit (walaupun sektor informal di sini harus punya permit lho, harus jadi anggota KvK atau KADIN nya Belanda), nggak bisa seenaknya buka warung atau jualan di pasar. Begitu ada kesempatan ini, rasanya sudah sueneng duluan (walaupun belum bikin apa-apa. hi…hi..hi…).

Terus aku mikir-mikir bikin apa ya enaknya. Aku lihat dagangan blio sudah ada rempeyek yang juga titipan (kalau nggak salah sih yang nitip orang Suriname). Aku pengin titip makanan yang awet tapi gampang bikinnya. Puyeng juga ya kalau sudah mikir kayak gini. Soalnya di sini mau jualan kacang bawang juga kemungkinan nggak laku. Lha wong kacang goreng dan roasted peanut juga banyak kok di Belanda. Jadi mendingan yang agak aneh gitu.

Akhirnya pilihan jatuh pada kering kentang (maklum kan sudah nimba ilmu dari mbak Esther). Supaya alasannya lebih keren atau berkesan nasionalistis dan politis aku berujar, mendingan aku populerkan bahwa kering kentang adalah makanan Indonesia. Kalau nanti kering kentang ini populer di Belanda kan nggak bakalan dicolong sama Malaysia ya seperti kasus rendang yang dipatenin sama mereka.

Dengan naik sepeda, berbelanjalah aku ke pasar desa untuk beli kentang 5 kilo. Lumayan berat juga lho apalagi kan nggak hanya beli kentang doang. Pokoknya walaupun udara sudah mulai dingin menggigit (maklum kan menjelang winter yak), dan cukup windy dan cloudy apalagi kebetulan kok di tengah jalan hujan (masih untung bukan hujan es yang pletak-pletok), aku genjot juga tuh sepeda selamat sampai di rumah dengan gembolan 5 kilo kentang.

Dalam perjalan dari pasar ke rumah, dalam hati waktu itu aku bilang…ya namanya juga mencari sesuap berlian, jadi harus sabar mau berkorban dulu….. siapa tahu kalau nanti berhasil jadi kaya kan bisa mengunjungi MPers sedunia dari mulai utara (Canada) sampai dengan selatan (NZ). Kemudian dari Belanda terus ke timur menyusuri jazirah Arab sana (sekalian nengok Phitree di Kuwait) sampai dengan NYC (ketemu Elika) balik lagi ke Belanda. Jadi siap-siap saja ya Pepy, Nura dan tante Elly yang di Canada sampai dengan Eva di NZ serta mbak Theresa di Ostrali untuk menerima kunjunganku, seorang juragan kering kentang. ha..ha..ha…

Mulailah aku bikin kering kentang. Ternyata nggoreng kentang 5 kilo lama betul. Padahal aku sudah pake panci besar untuk menggoreng. Seharian waktu cuma habis untuk menggoreng doang. Untung ngirisnya pake food processor, jadi cepet. Terus hari lainnya untuk bikin bumbu dan lain-lain. Jadi total hari kerja yang digunakan untuk bikin kerang kentang ini (dicampur 1/2 kilo kacang goreng) adalah 2 hari kerja.

Dan ternyata o ternyata…lha wong 5 kilo kentang setelah jadi kering kentang kok cuma 1,8 kilo (padahal ini sudah disumpelin 1/2 kilo kacang lho). Waktu itu aku masukkan kering kentang tersebut dalam plastik (tiap plastik isi 200 gram), lha kok cuma jadi 9 plastik. L
ha kok mengkeretnya buanyak banget yak. Lha puyeng juga aku menentukan harga jual. Biaya bahan dan (perkiraan energi) total 15 Euro. Itu nggak termasuk biaya transport karena beli kentangnya kan nggenjot sepeda (yang nggenjot cuma cukup diisi nasi pecel, nggak perlu bensin he…he…he…). Transport untuk menyerahkan dagangan ke pasar kota dibayarin Leo (karena kami memang tiap seminggu atau 2 minggu sekali ke pasar kota). Sampai-sampai Leo bilang gini:

“Kamu ini curang, wong kamu yang bisnis, tapi aku yang bayar untuk beli bahan dan sebagainya. Giliran terima uang, kamu yang terima uang…..”

Lha kalau nggak gitu, terus gimana ya? Bukankah itu aturan umum yang sudah disepakati dunia? Suami ngeluarin duit, istri yang terima? Ya to? ha…ha….ha….

Biaya 15 Euro kan tidak termasuk biaya tenaga kerja yang kalau dihitung pake sistem di Belanda bisa bangkrut (kalau nggak salah sih biaya tenaga kerja di sini 7-8 Euro per jam masih potong pajak). Padahal waktu yang aku gunakan untuk bikin 2 hari full time jé.

Let’s say, aku nggak ngitung tenaga kerja (wong namanya pengusaha kan nggak digaji, tapi dapat profit to?), biaya per plastik (isi 200 gram) sudah 1,7 Euro. Terus aku harus jual berapa coba? Puyeng aku. Sebagai gambaran, harga chips di supermarket sekitar 3 – 5 Euro per kilo. Kalau aku jual misalnya 3 Euro per plastik (itu kalau laku) kan cuma untung 1,3 Euro per plastik x 9 plastik atau sama dengan 11,3 Euro dengan kerja setengah mati selama 2 hari.

Nah ternyata nggak sampai segitu aja kesulitanku ini dalam mencari sesuap berlian. Kemarin waktu ke pasar, aku nggak nemu ibu tersebut. Sampai-sampai seluruh pasar sudah kami ubek. Bahkan Leo dan aku berpisah untuk mencari ibu tersebut. Memang sih nggak janjian, jadi aku nggak tahu apakah ibu tersebut jualan atau enggak hari ini. Sudah gitu aku lupa lagi nggak nanya nomor HP blio, main sok yakin saja bawa dagangan ke sana.

Kebetulan blio memang belum punya tempat tetap. Kata Leo yang pengin jualan di pasar buanyak banget, jadi kalau belum memperoleh tempat permanen, pihak panitia pasar akan mengundi, siapa saja yang bisa jualan di sana hari itu. Karena pake sistem lotre, maka bagi pedagang yang masih belum permanen tempatnya, akan berpindah-pindah tempat jualannya, tergantung lotre yang keluar. Mungkin saja hari ini ibu tersebut nggak dapat lotre, jadi ya blio harus pulang. Dan itu artinya aku harus pulang juga bawa kering kentangku yang 9 plastik. Ya sudah…nasib…mau diapain lagi wong namanya belum rejeki. Mau nangis juga percuma kan?

Yang jelas sih kami kemarin di pasar kami sudah beli buanyak sekali buah dan sayur segar serta makan Pizza Turki sebelum pulang.

Sekarang mau tanya nih, dengan kasusku seperti itu, ada usul nggak untuk memperbaiki nasibku di kemudian hari dalam mencari sesuap berlian. Maksudnya gini:

1. Sebaiknya jualan apa ya yang awet atau tahan lama serta kalau bisa sih gampang bikinnya? Ada alternatif lain selain kering kentang?

2. Gimana sih ngitung harga jual? Ada yang tahu nggak harga kering kentang di toko Asia? terutama yang tinggal di Belanda nih….(aku sendiri belum cek di toko Asia).

Ngomong-ngomong harga kering kentang di Indonesia berapa sih? Jangan-jangan yang aku jual lebih murah….kalau bener lebih murah, mendingan aku eksport aja ya kering kentang made in Londo ini ke Indonesia. ha…ha…ha…

Terimakasih ya teman-teman sebelumnya…..

Catatan: Gambar yang aku pasang ini adalah coklat yang dicetak atau dibungkus menyerupai bentuk uang Euro. Lha siapa tahu to, kalau aku nanti kaya dengan titip dagangan di pasar, dompetku penuh dengan Euro (terutama yang warna ungu tuh….yang 500 Euro….ha…ha…ha….).

Horeeee…..nggak ambleg

Posted on

Sueneng aku, cake yang aku bikin kali ini nggak ambleg (maklum, langganan ambleg. Jadi begitu nggak ambleg, rasanya sueneng banget). Ini nyontek bu Elkaje aka mbak Ine di sini. Terimakasih mbak Ine…

Kebetulan minggu lalu ada aanbieding (special offer) loyang domino dari supermarket Lidl. Leo berbaik hati beliin loyang ini. Akhirnya bikinlah aku cake domino ini. Belum sempurna dominonya, masih mbleber. Tapi untuk ukuranku yang super amatir, sudah lumayan (ukuran bagus buatku adalah kalau nggak ambleg!).

Seharusnya 3 layers, tapi aku cuma bikin 2 layers saja. Nggak aku kasih whipped cream ataupun glazuur coklat supaya nggak nambah kalori (halah alasan, ngomong aja nggak bisa ngocok whipped cream dan nuang glazuur. he…he…he…).

Rasanya menurutku enak dan lembut. Leo bahkan muji: bagus dan enak. Soalnya biasanya setiap aku bikin cake, dia harus selalu siap dengan kata-kata untuk membesarkan hatiku (maklum biasa ambleg). Tapi kali ini jadinya lumayan….horeeeeee…..akhirnya nggak ambleg….

Catatan: setelah lebih dari 3 tahun, aku baru mulai sedikit agak mudeng bagaimana memperlakukan ovenku. Semoga lain kali bisa lebih bagus lagi… Next step: lapis surabaya dan green tea cake. Harus cari korban dulu supaya nanti ada yang makan. Maklum Leo punya kolesterol tinggi sedangkan aku nggak boleh makan cake terlalu banyak (maklum badan sudah melar).